PENGARUH PEMBERIAN EXTRASELULER POLISAKARIDA
(EPS) DARI BAKTERI BLOOD DISEASE BACTERIUM (BDB) TERHADAP PERTUMBUHAN PLANLET
PISANG IN VITRO
Oleh
Badiatul
Athoriyah, SP.
(POPT Ahli
Pertama pada Balai Karantina Pertanian Kelas II Ternate)
ABSTRAK
Tanaman
pisang (Musa sp.) adalah komoditas
yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai komoditas prioritas, namun banyak
kendala yang menyebabkan perkembangan pisang terhambat sehingga
produktifitasnya menurun. Penyebab penurunan tersebut disebabkan oleh penyakit
“Blood Disease Bacterium” (BDB).
Gejala yang disebabkan oleh penyakit BDB adalah adanya gejala layu disebabkan
karena jaringan pembuluh tersumbat oleh massa bakteri dan lendir polisakarida
yang larut (terdegradasi), sehingga terhambatnya transportasi dan translokasi
air dan unsur hara. Bakteri ini tidak hanya berkembang pada jaringan xilem juga
berkembang dan menyebar pada jaringan parenkim. Korteks tidak teratur dan
jaringan empulur menjadi hancur sehingga dapat menyebabkan terbentuknya rongga
tengah dasar batang. Untuk mengurangi laju penyerangan penyakit tersebut maka
dibutuhkan bibit pisang yang mempunyai ketahanan yang kuat terhadap penyakit
BDB, salah satu cara dalam pengendaliannya adalah dengan menginduksikan “Ekstraseluler Polisakarida” (EPS)
kedalam kultur pisang. EPS merupakan lendir yang dihasilkan oleh mikroba dan
dikeluarkan (diekskresikan) ke medium pertumbuhannya atau tetap melekat pada sel
mikroba tersebut sebagai kapsul. EPS yang di peroleh dari penyakit BDB akan
dimurnikan dan diinduksikan kedalam beberapa varietas kultur pisang yaitu
pisang barangan kuning dan pisang kepok kuning dengan konsentrasi 10%; 11,5%;
13% dan 14,5% yang nantinya akan memberikan reaksi ketahanan yang berbeda
terhadap EPS yang dihasilkan oleh BDB. Perlakuan dengan pemberian konsentrasi
10%; 11,5%; 13% dan 14,5% Ekstraseluler
Polisakarida (EPS) dari “Blood
Disease Bacterium” dibandingkan dengan perlakuan kontrol memperlihatkan
pengaruh penekanan terhadap masa munculnya anakan dan daun serta jumlah anakan
dan daun baik pada Pisang Varietas Barangan Kuning maupun pada Pisang Varietas
Kepok.
Kata
Kunci : Ekstraseluler Polisakarida, Blood Disease Bacterium, Pisang.
BAB
I
PENDAHULUAN
I. 1.
Latar Belakang
Menurut
sejarah, pisang (Musa sp.) berasal
dari Asia Tenggara yang oleh para penyebar agama Islam disebarkan ke Afrika
Barat, Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Selanjutnya pisang menyebar ke
seluruh dunia, meliputi daerah tropis dan sub tropis. Negara-negara pengahsil
pisang yang terkenal diantaranya Brasil, Filipina, Panama, Honduras, India,
Equador, Thailand, Karibia, Columbia, Meksiko, Venezuela dan Hawai. Indonesia
merupakan negara penghasil pisang nomor empat di dunia (Suyanti Satuhu, Achmad
Supriyadi, 2000).
Hingga saat ini peningkatan kualitas
pisang sudah banyak dilakukan. Seperti pengembangan areal yang masih sangat
terbuka, pengaturan masa panen, kondisi bibit pada waktu tanam, kebersihan
kebun termasuk penggunaan verietas resisten. Akan tetapi kenyataannya masih
sering mengalami berbagai kendala utamanya serangan berbagai jenis hama dan
penyakit tumbuhan yang diketahui sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas
produksinya (Sunarjono, 2002).
Berbagai penyakit tanaman pisang dilaporkan
terdapat di Indonesia di antaranya adalah “penyakit Sigatoka” (Cescospora musaesin) atau Mycosphaerella woncoca, yang berasal
dari Meksiko, Amerika dan Colombia (Valmanor, 1990). “Penyakit Panama” (Fusarium oxysporum van cubense),
“Pembuluh Jawa” (Pseudomonas musae)
serta empat jenis penyakit serangan bakteri antara lain “Moko disease, Bugtog
disease, Xantomonas sp., dan
Penyakit darah (Blood diasease). Gejala
“Moko Disease” diduga hampir sama dengan gejala “Blood disease” melalui infeksi
serangga dari oragnisme yang sama (Mardlaw, 1972), tetapi diduga dari penyebab
penyakit yang berbeda. “Moko Disease” oleh Ralstonia
solanacearum ras 2 sedangkan “Penyakit Darah” atau “Blood Disease”
disebabkan oleh bakteri penyebab penyakit darah “Blood Disease Bacterium (BDB)” (oleh Gaumann, 1921 disebut Pseudomonas celebensis) yang ditemukan
di Sulawesi (Triharsono, 1974).
Penanggulangan penyakit darah dengan
menggunakan teknologi yang tersedia masih sangat sulit, karena patogennya
menyebar secara sistematik di dalam jaringan tanaman dan sifat tanaman yang sukulentik,
sehingga tanaman yang terserang susah dimusnahkan dan menjadi sumber inokulum
potensial sepanjang waktu. Usaha kuratif berupa penggunaan bahan kimia
(pestisida) selain tidak selektif dan efesien juga dapat menimbulkan dampak
negatif bagi lingkungan. Pemanfaatan mikroba antagonis sering efektif pada fase
awal penanaman, namun pada fase selanjutnya kurang mampu melindungi perakaran
tanaman secara utuh. Penggunaan kultivar resisten untuk penanggulangan penyakit
darah mengalami hambatan karena hingga saat ini tidak ditemukan jenis pisang
tahan terhadap penyakit tersebut. Penelitian ketahanan terhadap penyakit darah
pada 25 jenis pisang (Pisang liar, Pisang diploid, tri- dan tertraploid), tidak
ditemukan satu jenis pisang yang tahan terhadap penyakit ini (Baharuddin,
1994).
Salah satu cara pemuliaan tanaman
yang diharapkan adalah penggunaan hasil-hasil mutasi (variasi somaklonal) dari
kultur sel dan jaringan, terutama melalui seleksi in-vitro untuk memperoleh
ketahanan tanaman terhadap penyakit dengan perlakuan subtansi yang berperan
pada virulensi patogen seperti toxin, enzim atau hormon (Daud, 1986: Van den
Bulk, 1991).
Dari
beberapa masalah tersebut maka perlu pengkajian mengenai bagaimana cara
mendapatkan tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit darah dengan
menggunakan sistem induksi Ekstraseluler
Polisakarida (EPS) secara In-Vitro
pada tanaman pisang hingga ketahananya di lapangan.
I. 2.
Rumusan Masalah
Perhatian masyarakat terhadap tanaman pisang cukup
besar, karena tanaman ini dapat mendukung pemenuhan gizi keluarga, menambah
pendapatan petani, dan menunjang pengembangan daerah wisata nasional maupun
internasional. Timbulnya masalah mengenai penyakit tanaman
pisang P. celebensis dapat
mempengaruhi beberapa potensi tersebut, berikut adalah beberapa pertanyaan
bagaimana cara mengatasi penyakit Blood
Disease Bacterium yang efektif :
- Bagaimana tahapan infeksi Blood Disease Bacterium terhadap tanaman pisang ?
- Toxin apa yang dihasilkan oleh Blood Disease Bacterium sehingga mampu menyerang tanaman pisang ?
- Dapatkah toxin tersebut di induksi ke dalam tanaman pisang melalui kultur jaringan sebagai ketahanan terhadap Blood Disease Bacterium ?
- Bagaimana cara mendapatkan tanaman pisang (Musa sp.) yang tahan terhadap penyakit darah (Blood Disease Bacterium) ?
I. 3.
Tujuan dan Manfaat
- Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari Blood Disease Bacterium pada pertumbuhan planlet pisang (Musa sp.) secara In-Vitro.
- Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu cara untuk mengetahui bagaimana mendapatkan planlet pisang yang tahan terhadap penyakit darah melalui induksi Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari Blood Disease Bacterium secara In-Vitro.
I. 4.
Metode Penulisan
Dalam karya tulis ini,
digunakan metode deskriptif yaitu metode penelitian non hipotesis yang hanya menggambarkan suatu data yang diperoleh dari
analisis penelitian dan studi literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Klasifikasi Pisang
Pisang
termasuk keluarga musaceae, salah satu anggota scitaminae yang meliputi
cannaceae, marantaceae, zingiberaceae, stelitziaceae dan lowiaceae. Berikut ada
lima penggolongan pisang berdasarkan wilayah yaitu Australimusa dari Queensland
sampai Filipina, Callimusa dari wilayah Indocina dan Indonesia, Eumusa dari
wilayah Jepang, Rhadoplamys dari wilayah India sampai Indocina (Vietnam) dan
Igentimusa dari wilayah Papua Nugini (Simmonds, 1962).
Golongan Eumusa memiliki genus yang
sebagian besar cukup penting dan baik untuk konsumsi diantaranya adalah Musa acuminata dan Musa balbisisana. Golongan Eumusa umumnya jumlah kromosom dengan n
= 11, sehingga dalam pembudidayaan dikenal dengan adanya tanaman pisang diploid
yang jumlah kromosomnya 22, pisang tripoid jumlah kromosomnya 33, dan pisang
tetrapoid yang jumlah kromosomnya 44. Umumnya tanaman pisang jenis tripoid
maupun tetrapoid berukuran lebih besar dengan daun yang lebih tebal.
Untuk penggolongannya jenis-jenis
ini diberi kode, misalnya :
Kode
A, mempunyai sifat acuminata dan dibedakan antara AA-acuminata diploid,
AAA-acuminata tripoid dan AAAA-acuminata tetrapoid.
Kode
B, mempunyai sifat balbisiana dan dibedakan menjadi BB yang diploid, BBB
balbasiana tripoid dan BBBB-balbisiana tetrapoid (Suhardiman, 1997).
AA
grup = Pisang mas (Sucrier)
AAA
grup = Pisang ambon (gros michel), Pisang ambon lumut, Pisang badak, Pisang
sereh.
AAB
grup = Pisang raja, Pisang tanduk, Pisang barangan, Pisang seribu, Pisang sewu
ABB
grup = Pisang batu (bluggoe)
II.2. Pseudomonas celebensis
Klasifikasi
Klasifikasi bakteri penyebab
penyakit layu menurut Young et al
(1996), yaitu :
Kingdom
: Animalia
Divisio : Gracilicutes
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteria
Famili : Pseudomonaceae
Genus : Pseudomonas
Spesies : Pseudomonas celebensis (Gauman, 1921)
Bakteri penyebab layu darah atau “Blood Disease Bacterium” tersebut semula
dikenal dengan nama Pseudomonas
celebensis kemudian berubah menjadi Xanthomonas
campentris pv. Celebensis, pada data urutan gen β-proteobacteria merupakan
kerabat dekat dengan Ralstonia
solanacearum dan R. Syzigii
(Baharuddin, 1994).
Penyebaran Penyakit
Penyakit
layu bakteri tersebar luas di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang dominan
di daerah tropik, sub tropik dan daerah temperatur panas di dunia (Semangun,
1994). Patogen penyakit ini cepat sekali menyebar dan bermultiplikasi dalam
jaringan pembuluh tanaman pisang (Baharuddin, 1994).
Penyakit layu bakeri diketahui
mempunyai kisaran inang yang luas meliputi lebih dari 270 spesies tanaman yang
tergolong dalam 35 famili (Goto, 1990; Hayward, 1993). Terdapat 3 jenis penyakit layu bakteri pada
pisang, yaitu Penyakit Moko,
Bugtok (juga dikenal dengan nama Tobaglon dan Tapurok) yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum ras 2 dan penyakit darah yang
disebabkan oleh BDB yang memiliki kekerabatan sangat dekat dengan R. solanacearum dan R. syzygii. Penyakit Moko
ditemukan pertama kali pada tahun 1890-an dan berstatus endemik di Amerika
Selatan dan di bagian selatan Filipina. Penyakit Bugtok
ditemukan pertama kali di Filipina pada pertengahan tahun 1960, sedangkan penyakit darah (blood
diseases) hingga kini hanya ditemukan di Indonesia. Karakteristik patogen
penyebab ke-3 penyakit juga
berbeda baik pada tingkat morfologi, kisaran inang, maupun pada aras
molekulernya. Patogen penyebab penyakit darah di
Indonesia belum memiliki nama valid. Awalnya sebagian peneliti menyebutnya
sebagai Pseudomonas celebensis, lalu
berganti nama menjadi P. solanacearum,
selanjutnya digolongkan ke dalam genus Ralstonia dan berubah nama menjadi R. solanacearum. Penelitian lebih lanjut
kemudian membuktikan bahwa bakteri penyebab penyakit darah pada pisang
di Indonesia berbeda dengan R.
solanacearum ras 2 yang
menyerang pisang di luar Indonesia. Secara alami, BDB hanya menyerang pisang
kepok/sepatu dan penyebaran penyakit terjadi
karena bantuan serangga pengunjung bunga jantan pada jantung pisang.
Gejala Penyakit
Gejala layu disebabkan karena
jaringan pembuluh tersumbat oleh massa bakteri dan lendir polisakarida yang
larut (terdegradasi), sehingga terhambatnya transportasi dan translokasi air
dan unsur hara. Bakteri ini tidak hanya berkembang pada jaringan xilem juga
berkembang dan menyebar pada jaringan parenkim. Korteks tidak teratur dan
jaringan empulur menjadi hancur sehingga dapat menyebabkan terbentuknya rongga
tengah dasar batang (Semangun, 1994).
Gambar 1 : Gejala Penyakit Darah pada Pisang
Ciri-ciri
yang tampak pada tanaman pisang yang terkena penyakit darah adalah pada saat
menjelang timbulnya tandan. Mula-mula daun muda mengalami perubahan warna, dari
ibu tulang daun ketepi daun tampak warna coklat kekuning-kuningan. Kondisi ini
berlangsung hingga buah menjelang masak. Dalam jangka waktu seminggu setelah
gejala pertama, semua daun menguning dan kering lalu menjadi coklat dan tanaman
menjadi layu. Perkembangan buah terlambat, dimana pada saat buah hampir masak buah berwarna kuning coklat dan busuk, daging
buah menjadi cairan seperti lendir berwarna merah kecoklatan yang mengandung
banyak bakteri. Selanjutnya apabila batang dipotong melintang akan mengeluarkan
cairan yang berwarna coklat kemerahan dan berbau kurang sedap seperti pada
gambar 1 (Dedeh Hadiyanti, 2003).
Gejala
pada batang menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil. Pada serangan berat
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhenti sama sekali dan dalam waktu singkat
tanaman mejadi layu, akhirnya mati. Buah yang terserang berwarna kuning
kecoklatan, nampak seperti hangus, busuk, kemudian gugur (Gauman, 1921b).
BAB III
PEMBAHASAN
III.1. Ekstraseluler Polisakarida
(EPS)
Ekstraseluler
Polisakarida (EPS)
merupakan lendir yang dihasilkan oleh mikroba dan dikeluarkan (diekskresikan)
ke medium pertumbuhannya atau tetap melekat pada sel mikroba tersebut sebagai
kapsul. Umumnya polisakarida dihasilkan oleh tumbuhan tinggi sepeti gum guar,
gum karaya, dan rumput laut. Keuntungan EPS adalah mempunyai sifat fisika dan
kimia yang relatif konsisten (reproducible), sedangkan polisakarida yang
berasal dari tumbuhan tingkat tinggi dan rumput laut mempunyai sifat yang
bervariasi tergantung dari struktur fisika dan kimia setiap polimer
berbeda-beda tidak hanya tergantung pada sumber, tipe dan umur jaringan tetapi
juga tergantung dari metode ekstraksi (Noer Laily, 1999).
Polisakarida
simpanan seperti pati dan inulin pada tumbuhan, glikogen pada hewan merupakan
polisakarida intraseluler. Beberapa bakteri, mikroalga, jamur dan ragi, menyimpan
polisakarida diluar sel (Ekstraseluler Polisakarida
= EPS). EPS bakteri merupakan molekul dengan berat molekul bervariasi antara
10-104 kDa (sekitar 50 – 50.000 unit glikosil). Berdasarkan komposisi dan
mekanisme biosintesis, EPS dibagi menjadi dua kelas, yaitu: homopolisakarida dan heteropolisakarida (van Hijum et al.,
2002).
Homopolisakarida, hanya disusun oleh satu jenis
monomer, yaitu glukosa (polimer: glukan), fruktosa (polimer: fruktan) dengan
tipe ikatan dan percabangan yang berbeda. Polisakarida ini disintesis diluar
sel oleh enzim sukrase dengan adanya molekul donor sukrosa pada medium, dan
molekul penerima polimer: sukrosa, rafinosa atau air (De Vuyst et al., 2001).
Polisakarida terdiri dari rantai monosakarida,
yang dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar secara fungsional, yaitu
struktural polisakarida dan nutrien polisakarida. Sebagai komponan struktural,
polisakarida berperan sebagai pembangunan komponan organel sel dan sebagai
unsur pendukung intrasel. Polisakarida yang termasuk golongan ini adalah
selulosa (ditemukan dalam dinding sel tanaman), chitin, chondroitin, dan asam
hialuronat. Polisakarida nutrien berperan sebagai sumber cadangan monosakarida.
Polisakarida yang termasuk kelompok ini adalah pati, selulosa dan glikogen.
Masing-masing polisakarida berbeda dalam hal unit monomer yang dikandungnya,
maupun jenis ikatan yang menghubungkan unit-unit monomer tersebut, untuk
memperoleh EPS dari supernatan polisakarida ada dua methode umum, ada yang
secara tradisional (EPS dengan bahan pelarut organse atau garam-garam) dan
secara ultrafiltrasi.
Ekstraseluler
Polisakarida (EPS), berfungsi untuk meningkatan viskositas sekeliling sel,
mengurangi penekanan terhadap efektivitas nitrogenase, melindungi sel bakteri
dari pengaruh cekaman (pH, kekeringan, fluktuasi potensial air), mengkelat A1
3+ dan Fe3+ pada pH lingkungan tertentu, memacu pembentukan gel dengan adanya
Ca2+ yang berperan di dalam pelekatan pada rambut akar. Eksopolisakarida tipe wild memiliki 2 bentukan yaitu loose smile
yang tidak melekat pada sel dan mikrokapsul maupun kapsul yang melekat pada
dinding sel.
EPS
dari bakteri sangat berperan dalam antagenesis, utamanya dalam menghambat
translokasi unsur hara dan air, juga pelindung bakteri dari keadaan yang
ekstrim, dapat menetralisir senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh tanaman
(Wydra, 1991).
III.2.
Mekanisme Resistensi Terinduksi
Tanaman memperlihatkan reaksi
induksi resistensi pada umumnya, sama dengan reaksi hipersensitif yang mana
pada tanaman yang rentan terjadi hubungan yang kompatibel antara inang dan
patogen, sehingga patogen dapat meluas dalam jaringan tanpa hambatan.
Sebaliknya pada tanaman yang resisten, sel-sel sekitar patogen kehilangan
turgornya, berwarna coklat, berbulir dan sel mati dengan cepat, seterusnya
terjadi akumulasi oksidasi senyawa fenol dan pembentukan fitoaleksin. Dengan
kata lain mekanisme induksi resistensi berhubungan dengan ketahanan suatu
tanaman, semakin tahan suatu tanaman maka semakin cepat matinya sel sehingga
semakin cepat patogen inaktif (Semangun, 1996).
Untuk meningkatkan sifat ketahanan
terhadap penyakit maka sel maupun koloni sel dikulturkan pada media yang
mengandung toksin atau metabolik sekunder dari patogen. Pemberian filtrat
dengan konsentrasi yang berbeda-beda menyebabkan tingkat ketahanan pada setiap
jenis tanaman juga berbeda-beda. Menurut Kosmiatin et al (2000) bahwa toksin atau ekstrak dari patogen (kultur
filtrat) dari patogen merupakan seleksi berdasarkan kenyataan bahwa ada
hubungan antara toleransi terhadap toksin atau kultur filtrat dengan ketahanan
terhadap penyakit.
Kultur fitrat merupakan semua isi
sel baik sebagai enzim, toksin, antibiotik, Ekstraseluler
Polisakarida (EPS), Lipopolisakarida
(LPS), maupun protein yang dapat dijadikan sebagai bahan penginduksi reisisten
terhadap penyakit. Sejalan dengan pendapat Graham et al. (dalam Mcintre, 1982) menyatakan bahwa unsur pokok dalam
bakteri sebagai faktor penginduksi ketahanan adalah senyawa yang mengandung
protein, EPS, LPS dan adanya DNA bakteri.
III.3. Pengaruh Ekstraseluler
Polisakarida (EPS) Terhadap Kultur In-Vitro
Tanaman Pisang
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh oleh St Nur Ihsan (2008), bahwa pemberian Ekatraseluler Polisakarida (EPS) dari
bakteri Blood Disease Bacterium baik
terhadap Pisang Varietas Barangan Kuning maupun terhadap Pisang Varietas Kepok
Kuning memperlihatkan bahwa masa munculnya anakan dan daun berbeda-beda
disebabkan karena konsentrasi EPS yang diberikan juga berbeda-beda. Pengaruhnya
akan menghambat pertumbuhan anakan dan daun yang muncul baik dalam masa munculnya
maupun dalam jumlah anakan dan daun yang akan muncul.
Tabel
1 : Masa Munculnya Anakan dan Daun dari Pengamatan 5 Minggu
Perlakuan
|
Masa
Munculnya Anakan
Hari
ke...
|
Masa
Munculnya Daun
Hari
ke...
|
V1
K0 (tanpa EPS)
|
3
|
3
|
K1 (EPS 10%)
|
7
|
3
|
K2 (EPS 11,5%)
|
7
|
7
|
K3 (EPS 13%)
|
7
|
7
|
K4 (EPS 14,5%)
|
7
|
7
|
V2
K0 (tanpa EPS)
|
3
|
3
|
K1 (EPS 10%)
|
11
|
11
|
K2 (EPS 11,5%)
|
15
|
23
|
K3 (EPS 13%)
|
11
|
19
|
K4 (EPS 14,5%)
|
23
|
27
|
Ket :
V1
= Pisang Varietas Barangan Kuning
V2
= Pisang Varietas Kepok Kuning
Tabel
2 : Jumlah Munculnya Anakan dan Daun dari Pengamatan 5 Minggu
Perlakuan
|
Jumlah
Munculnya Anakan
|
Jumlah Munculnya Daun
|
V1
K0 (tanpa EPS)
|
12
|
9
|
K1 (EPS 10%)
|
4
|
2
|
K2 (EPS 11,5%)
|
0
|
13
|
K3 (EPS 13%)
|
0
|
7
|
K4 (EPS 14,5%)
|
4
|
4
|
V2
K0 (tanpa EPS)
|
9
|
9
|
K1 (EPS 10%)
|
2
|
4
|
K2 (EPS 11,5%)
|
3
|
0
|
K3 (EPS 13%)
|
0
|
3
|
K4 (EPS 14,5%)
|
0
|
0
|
Ket :
V1
= Pisang Varietas Barangan Kuning
V2
= Pisang Varietas Kepok Kuning
Pada
studi literatur yang di lakukan terdapat beberapa konsentrasi pengujian Ekstraseluler Polisakarida (EPS) yaitu :
10%; 11,5%; 13% dan 14,5%, hasil
menunjukkan bahwa pada konsentrasi EPS 10 hingga 14,5% Pisang Varietas Barangan
Kuning mampu menghasilkan anakan dalam waktu 7 hari. Sedangkan masa munculnya
anakan untuk Pisang Varietas Kepok Kuning diperlihatkan pada konsentrasi EPS 10
hingga 13% yaitu dalam waktu 11 hari, kemudian pada konsentrasi 11,5% dalam
waktu 15 hari dan konsentrasi 14,5% dalam waktu 23 hari. Hal ini menunjukkan
bahwa walaupun dengan pemberian konsentrasi EPS tanaman masih mampu membentuk
mekanisme pertahanan pada dirinya dengan memperlihatkan kemampuan tumbuhnya.
Ketahanan yang di miliki planlet tersebut tidak menutup kemungkinan justru
lebih bertahan hingga dilapangan. Sesuai dengan pendapat van den Bulk dalam
Kosmiatin et al (2000), juga oleh
Watinema (1992) yang menyatakan bahwa massa sel pada media yang mengandung
metabolik dari patogen, peluang untuk mendapatkan varietas baru yang tahan
terhadap penyakit semakin besar.
Kemudian
pengaruh pertumbuhan daun terhadap pemberian EPS pada Pisang Varietas Barangan
Kuning memperlihatkan bahwa pada konsentrasi 10% menunjukkan pembentukan daun
yang sangat pesat hanya dalam waktu 3 hari saja, dan pada konsentrasi 11,5
hingga 14,5% pembentukan daun terjadi dalam waktu 7 hari. Sedangkan pada Pisang
Varietas Kepok Kuning untuk konsentrasi EPS 10% daun muncul dalam waktu 11
hari, kemudian konsentrasi 13% yaitu dalam waktu 19 hari, konsentrasi 11,5%
yaitu dalam waktu 23 hari, konsentrasi 14,5% yaitu dalam waktu 27 hari. Adanya
kemampuan untuk tumbuh dari planlet tersebut disebabkan karena mekanisme
pertahanan yang dimiliki berbeda-beda. Jika tanaman sanggup untuk mencegah
aktifitas EPS maka akan mampu terus tumbuh tanpa hambatan. Penghambatan
pertumbuhan tersebut terjadi karena adanya pemasukan dari induksi EPS patogen,
tetapi banyak bukti bahwa tumbuhan dapat bereaksi aktif terhadap pengaruh
patogen, mirip imunitas yang terdapat pada hewan dan manusia (Balesdent, 1992).
Perlakuan
dengan beberapa konsentrasi Ekstraseluler
Polisakarida (EPS) menyebabkan pertumbuhan anakan dan daun mulai terhambat.
Terhambatnya pertumbuhan anakan dan daun tersebut diakibatkan oleh adanya
pengaruh senyawa dari EPS yang merupakan metabolit sekunder yang mempengaruhi
aktifitas pertumbuhan normal inang berupa penghambatan dalam translokasi
zat-zat hara, proses metabolisme sel inang, permeabilitas sel sehingga
pertumbuhan anakan dan daun juga menjadi terhambat. Agrios (1996), menyatakan
bahwa beberapa jenis patogen selain menggunakan kekuatan mekanik untuk mempenetrasi
jaringan tumbuhan, sebagian besar juga aktivitas patogen di dalam jaringan di
dalam jaringan tumbuhan bersifat absorbsi kimia seperti halnya aktifitas yang
dilakukan oleh EPS yang diperoleh dari kultur bakteri Blood Disease Bacterium, absorbsi kimia yang dilakukan dengan
memanfaatkan ikatan polisakarida yang bersifat netral atau mengandung homopolisakarida atau heteropolisakarida yang dimodifikasi
untuk membawa residu non-gula seperti golongan acid atau senyawa toksin.
Senyawa toksin inilah yang berperan dalam melakukan penetrasi di dalam jaringan
tanaman sehingga mempengaruhi aktifitas pertumbuhan inang (Mansfield and Brown,
1986).
Beberapa
senyawa merupakan hasil metabolik sekunder juga dapat berfungsi dan terlibat
dalam membentuk sel-sel yang tahan terhadap penyakit. Pada kultur In-Vitro produk senyawa metabolik
sekunder juga seringkali berasosiasi dengan deferensiasi sel atau jaringan yang
dikulturkan (Santoso dan Nursandi, 2001).
Di
Harapkan tanaman pisang yang telah di induksi oleh EPS dapat tahan terhadap
serangan penyakit BDB di lapangan sehingga walaupun di tanam pada tanah yang
sebelumnya telah terinfeksi BDB tanaman pisang tersebut masih dapat terus
tumbuh hingga menghasilkan tanaman dan buah yang sehat.
BAB IV
KESIMPULAN
- Perlakuan dengan pemberian konsentrasi 10%; 11,5%; 13% dan 14,5% Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari “Blood Disease Bacterium” dibandingkan dengan perlakuan kontrol memperlihatkan pengaruh penekanan terhadap masa munculnya anakan dan daun serta jumlah anakan dan daun baik pada Pisang Varietas Barangan Kuning maupun pada Pisang Varietas Kepok.
- Pemberian konsentrasi tertinggi 14,5% Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari “Blood Disease Bacterium” pada Pisang Varietas Kepok Kuning memberikan pengaruh penekanan lebih tinggi dibandingkan dengan Pisang Varietas Barangan Kuning Terhadap masa munculnya anakan dan daun serta jumlah anakan daun.
DAFTAR PUSTAKA
Argrios, G.
N., 1996. Plant Pathology. Penerjemah: Munzir Busnia dalam Ilmu Penyakit
Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 713 Halaman
Baharuddin,
1994. Pathological, biochemical and serological characterization of the blood
diasease bacterium affecting banana and plaitain (Musa spp.) in Indonesia. Disertation at Georg-August Universitaet
Gootingen, Germany.
Balesdent
J and Balabane M., 1992. Input of fertilizer-derived labelled N to soil
organic matter during a growing season
of maize in the field. Soil Biol. Biochem.
Dedeh Hadiyanti,
2003. Cara Pengendalian Penyakit Darah Pada Tanaman Pisang di Sumatera Selatan.
Departemen Pertanian. BPTP. Sumatera Selatan.
De Vuyst L
and L. M. Mashall., 2001. Special Issue: first symposium on exopolysaccharides
from lactid acid bacteria, from fundamentals to apllication int. Dairy. 11
Gaumann,
1921. Onderzoekeningen over de bloedziekte der bananaen op Celebes. I & II.
Madedelingen van het Instituut voor Plantenziekten.
Ihsan Nur
St, 2008. Uji Beberapa Konsentrasi Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari Blood
Disease Bacterium pada Planlet Pisang (Musa
paradisiaca L.) Secara In-Vitro. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Kosmiatin,
M. I., Marisko, A., Husni, Y., Rusyadi, Hobir, dan M Tombe., 2000. Seleksi
Silang Ketahanan Tunas In-Vitro Vanili Terhadap Asam Fusarat dan Ekstrak Fusarium oxysforum. Jurnal Bioteknologi
Pertanian 5 (2) : 77-83.
Mansfield,
J. W & Brown, I. R., 1988. An ultrastructural study, including
cytochemistry and quantitative analyses, of the interactions berween
pseudomonas and leaves of Phaseolus
vulgaris L. Physiol. Mol. Plant Pathol
Noer Laily,
1999. Sifat Reologi & Komposisi Gula Polisakarida Ekstraseluler yang di
Produksi oleh Enterobacter agglomerans
N. IPB. Bogor.
Suyanti,
Satuhu & Achmad Supriyadi, 2000. Pisang: Budidaya, Pengolahan & Prospek
Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sunarjono H.,
2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hal 1-15
Simmonds,
N.W., 1962. The evolution of bananas. Longmans, London.
Suhardiman,
1997. Budidaya Pisang Cavendish. Yogyakarta. Kanisius
Semangun,
1994. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. Hal 554-598.
Semangun,
1996. Pengatar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Santoso,
U dan F. Nursandi, 2001. Kultur Jaringan Tanaman. UMM. Malang
Triharsono,
1974. Karantina Tumbuhan. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. 66p.
Valmayor. R.
W., Umali, B. E., Bejasono, C. P., 1990. Regional Consultation on Banana and
Plantain R & D Networking. 189p, in V. Ramon (Ed). Banana and Plantain R
& D In Asia and The Pacific. 20-24 Nov 1989. Manila and Davao.
International Network For The Improvement of Banana and Plantain, Montpellier,
France.
Van den Bulk, R.W., 1991. Application of cell and tissue
culture and in vitro selection for disease resistance breeding - a review.
Euphytica
Van Hijum,
S. A. F. T., G. H Van Goel-Schuten, H. Rahaoui, M. J. E. C. Vander Maarel, and
L. Dijkhuizen., 2001. Characterization of a Novel Fructosiltransferase form Lactobacillus reuteri that Synthesizes
High-Moleculer. Weight Inulin and Inulin Oligosaccharida. Appl and Env.
Mikrobial, vol. 68, no 9. 4390-4398.
Watinema, G.
A., Livy Winata. G., Nurhayati A. M., Endang S. N., Made A. W., Andrie, 1992.
Bioteknologi Tanaman (Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman). Departement
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tingkat Pusat Antar
Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.
Wydra,
K. 1992. Analysis of toxic extracellular
polysaccharides. MSc thesis. Institute of Plant Pathology and Plant Protection,
Faculty of Agricultural Sciences, University of Göttingen