Minggu, 25 Agustus 2013

PENGARUH PEMBERIAN EXTRASELULER POLISAKARIDA (EPS) DARI BAKTERI BLOOD DISEASE BACTERIUM (BDB) TERHADAP PERTUMBUHAN PLANLET PISANG IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN EXTRASELULER POLISAKARIDA (EPS) DARI BAKTERI BLOOD DISEASE BACTERIUM (BDB) TERHADAP PERTUMBUHAN PLANLET PISANG IN VITRO

Oleh
Badiatul Athoriyah, SP.
(POPT Ahli Pertama pada Balai Karantina Pertanian Kelas II Ternate)

ABSTRAK

Tanaman pisang (Musa sp.) adalah komoditas yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai komoditas prioritas, namun banyak kendala yang menyebabkan perkembangan pisang terhambat sehingga produktifitasnya menurun. Penyebab penurunan tersebut disebabkan oleh penyakit “Blood Disease Bacterium” (BDB). Gejala yang disebabkan oleh penyakit BDB adalah adanya gejala layu disebabkan karena jaringan pembuluh tersumbat oleh massa bakteri dan lendir polisakarida yang larut (terdegradasi), sehingga terhambatnya transportasi dan translokasi air dan unsur hara. Bakteri ini tidak hanya berkembang pada jaringan xilem juga berkembang dan menyebar pada jaringan parenkim. Korteks tidak teratur dan jaringan empulur menjadi hancur sehingga dapat menyebabkan terbentuknya rongga tengah dasar batang. Untuk mengurangi laju penyerangan penyakit tersebut maka dibutuhkan bibit pisang yang mempunyai ketahanan yang kuat terhadap penyakit BDB, salah satu cara dalam pengendaliannya adalah dengan menginduksikan “Ekstraseluler Polisakarida” (EPS) kedalam kultur pisang. EPS merupakan lendir yang dihasilkan oleh mikroba dan dikeluarkan (diekskresikan) ke medium pertumbuhannya atau tetap melekat pada sel mikroba tersebut sebagai kapsul. EPS yang di peroleh dari penyakit BDB akan dimurnikan dan diinduksikan kedalam beberapa varietas kultur pisang yaitu pisang barangan kuning dan pisang kepok kuning dengan konsentrasi 10%; 11,5%; 13% dan 14,5% yang nantinya akan memberikan reaksi ketahanan yang berbeda terhadap EPS yang dihasilkan oleh BDB. Perlakuan dengan pemberian konsentrasi 10%; 11,5%; 13% dan 14,5% Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari “Blood Disease Bacterium” dibandingkan dengan perlakuan kontrol memperlihatkan pengaruh penekanan terhadap masa munculnya anakan dan daun serta jumlah anakan dan daun baik pada Pisang Varietas Barangan Kuning maupun pada Pisang Varietas Kepok.
 

Kata Kunci : Ekstraseluler Polisakarida, Blood Disease Bacterium, Pisang.



BAB I
PENDAHULUAN


I.    1. Latar Belakang

          Menurut sejarah, pisang (Musa sp.) berasal dari Asia Tenggara yang oleh para penyebar agama Islam disebarkan ke Afrika Barat, Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Selanjutnya pisang menyebar ke seluruh dunia, meliputi daerah tropis dan sub tropis. Negara-negara pengahsil pisang yang terkenal diantaranya Brasil, Filipina, Panama, Honduras, India, Equador, Thailand, Karibia, Columbia, Meksiko, Venezuela dan Hawai. Indonesia merupakan negara penghasil pisang nomor empat di dunia (Suyanti Satuhu, Achmad Supriyadi, 2000).
          Hingga saat ini peningkatan kualitas pisang sudah banyak dilakukan. Seperti pengembangan areal yang masih sangat terbuka, pengaturan masa panen, kondisi bibit pada waktu tanam, kebersihan kebun termasuk penggunaan verietas resisten. Akan tetapi kenyataannya masih sering mengalami berbagai kendala utamanya serangan berbagai jenis hama dan penyakit tumbuhan yang diketahui sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksinya (Sunarjono, 2002).
          Berbagai penyakit tanaman pisang dilaporkan terdapat di Indonesia di antaranya adalah “penyakit Sigatoka” (Cescospora musaesin) atau Mycosphaerella woncoca, yang berasal dari Meksiko, Amerika dan Colombia (Valmanor, 1990). “Penyakit Panama” (Fusarium oxysporum van cubense), “Pembuluh Jawa” (Pseudomonas musae) serta empat jenis penyakit serangan bakteri antara lain “Moko disease, Bugtog disease, Xantomonas sp., dan Penyakit  darah (Blood diasease). Gejala “Moko Disease” diduga hampir sama dengan gejala “Blood disease” melalui infeksi serangga dari oragnisme yang sama (Mardlaw, 1972), tetapi diduga dari penyebab penyakit yang berbeda. “Moko Disease” oleh Ralstonia solanacearum ras 2 sedangkan “Penyakit Darah” atau “Blood Disease” disebabkan oleh bakteri penyebab penyakit darah “Blood Disease Bacterium (BDB)” (oleh Gaumann, 1921 disebut Pseudomonas celebensis) yang ditemukan di Sulawesi (Triharsono, 1974).
          Penanggulangan penyakit darah dengan menggunakan teknologi yang tersedia masih sangat sulit, karena patogennya menyebar secara sistematik di dalam jaringan tanaman dan sifat tanaman yang sukulentik, sehingga tanaman yang terserang susah dimusnahkan dan menjadi sumber inokulum potensial sepanjang waktu. Usaha kuratif berupa penggunaan bahan kimia (pestisida) selain tidak selektif dan efesien juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pemanfaatan mikroba antagonis sering efektif pada fase awal penanaman, namun pada fase selanjutnya kurang mampu melindungi perakaran tanaman secara utuh. Penggunaan kultivar resisten untuk penanggulangan penyakit darah mengalami hambatan karena hingga saat ini tidak ditemukan jenis pisang tahan terhadap penyakit tersebut. Penelitian ketahanan terhadap penyakit darah pada 25 jenis pisang (Pisang liar, Pisang diploid, tri- dan tertraploid), tidak ditemukan satu jenis pisang yang tahan terhadap penyakit ini (Baharuddin, 1994).
          Salah satu cara pemuliaan tanaman yang diharapkan adalah penggunaan hasil-hasil mutasi (variasi somaklonal) dari kultur sel dan jaringan, terutama melalui seleksi in-vitro untuk memperoleh ketahanan tanaman terhadap penyakit dengan perlakuan subtansi yang berperan pada virulensi patogen seperti toxin, enzim atau hormon (Daud, 1986: Van den Bulk, 1991).
          Dari beberapa masalah tersebut maka perlu pengkajian mengenai bagaimana cara mendapatkan tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit darah dengan menggunakan sistem induksi Ekstraseluler Polisakarida (EPS) secara In-Vitro pada tanaman pisang hingga ketahananya di lapangan.

I.    2. Rumusan Masalah

          Perhatian masyarakat terhadap tanaman pisang cukup besar, karena tanaman ini dapat mendukung pemenuhan gizi keluarga, menambah pendapatan petani, dan menunjang pengembangan daerah wisata nasional maupun internasional.  Timbulnya masalah mengenai penyakit tanaman pisang P. celebensis dapat mempengaruhi beberapa potensi tersebut, berikut adalah beberapa pertanyaan bagaimana cara mengatasi penyakit Blood Disease Bacterium yang efektif :

  • Bagaimana tahapan infeksi Blood Disease Bacterium terhadap tanaman pisang ?
  • Toxin apa yang dihasilkan oleh Blood Disease Bacterium sehingga mampu menyerang tanaman pisang ?
  • Dapatkah toxin tersebut di induksi ke dalam tanaman pisang melalui kultur jaringan sebagai ketahanan terhadap Blood Disease Bacterium ?
  • Bagaimana cara mendapatkan tanaman pisang (Musa sp.) yang tahan terhadap penyakit darah (Blood Disease Bacterium) ?

I.    3. Tujuan dan Manfaat


  • Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari Blood Disease Bacterium pada pertumbuhan planlet pisang (Musa sp.) secara In-Vitro.
  • Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu cara untuk mengetahui bagaimana mendapatkan planlet pisang yang tahan terhadap penyakit darah melalui induksi Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari Blood Disease Bacterium secara In-Vitro.

I.    4. Metode Penulisan

        Dalam karya tulis ini, digunakan metode deskriptif yaitu metode penelitian non hipotesis yang hanya menggambarkan suatu data yang diperoleh dari analisis penelitian dan studi literatur.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


II. 1. Klasifikasi Pisang

          Pisang termasuk keluarga musaceae, salah satu anggota scitaminae yang meliputi cannaceae, marantaceae, zingiberaceae, stelitziaceae dan lowiaceae. Berikut ada lima penggolongan pisang berdasarkan wilayah yaitu Australimusa dari Queensland sampai Filipina, Callimusa dari wilayah Indocina dan Indonesia, Eumusa dari wilayah Jepang, Rhadoplamys dari wilayah India sampai Indocina (Vietnam) dan Igentimusa dari wilayah Papua Nugini (Simmonds, 1962).
        Golongan Eumusa memiliki genus yang sebagian besar cukup penting dan baik untuk konsumsi diantaranya adalah Musa acuminata dan Musa balbisisana. Golongan Eumusa umumnya jumlah kromosom dengan n = 11, sehingga dalam pembudidayaan dikenal dengan adanya tanaman pisang diploid yang jumlah kromosomnya 22, pisang tripoid jumlah kromosomnya 33, dan pisang tetrapoid yang jumlah kromosomnya 44. Umumnya tanaman pisang jenis tripoid maupun tetrapoid berukuran lebih besar dengan daun yang lebih tebal.
            Untuk penggolongannya jenis-jenis ini diberi kode, misalnya :
Kode A, mempunyai sifat acuminata dan dibedakan antara AA-acuminata diploid, AAA-acuminata tripoid dan AAAA-acuminata tetrapoid.
Kode B, mempunyai sifat balbisiana dan dibedakan menjadi BB yang diploid, BBB balbasiana tripoid dan BBBB-balbisiana tetrapoid (Suhardiman, 1997).
AA grup = Pisang mas (Sucrier)
AAA grup = Pisang ambon (gros michel), Pisang ambon lumut, Pisang badak, Pisang sereh.
AAB grup = Pisang raja, Pisang tanduk, Pisang barangan, Pisang seribu, Pisang sewu
ABB grup = Pisang batu (bluggoe)


II.2. Pseudomonas celebensis

Klasifikasi

            Klasifikasi bakteri penyebab penyakit layu menurut Young et al (1996), yaitu :
Kingdom          : Animalia
Divisio             : Gracilicutes
Kelas               : Schizomycetes
Ordo                : Eubacteria
Famili               : Pseudomonaceae
Genus              : Pseudomonas
Spesies            : Pseudomonas celebensis (Gauman, 1921)
            Bakteri penyebab layu darah atau “Blood Disease Bacterium” tersebut semula dikenal dengan nama Pseudomonas celebensis kemudian berubah menjadi Xanthomonas campentris pv. Celebensis, pada data urutan gen β-proteobacteria merupakan kerabat dekat dengan Ralstonia solanacearum dan R. Syzigii (Baharuddin, 1994).

Penyebaran Penyakit

           Penyakit layu bakteri tersebar luas di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang dominan di daerah tropik, sub tropik dan daerah temperatur panas di dunia (Semangun, 1994). Patogen penyakit ini cepat sekali menyebar dan bermultiplikasi dalam jaringan pembuluh tanaman pisang (Baharuddin, 1994).
          Penyakit layu bakeri diketahui mempunyai kisaran inang yang luas meliputi lebih dari 270 spesies tanaman yang tergolong dalam 35 famili (Goto, 1990; Hayward, 1993). Terdapat 3 jenis penyakit layu bakteri pada pisang, yaitu Penyakit Moko, Bugtok (juga dikenal dengan nama Tobaglon dan Tapurok) yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum ras 2 dan penyakit darah yang disebabkan oleh BDB yang memiliki kekerabatan sangat dekat dengan R. solanacearum dan R. syzygii. Penyakit Moko ditemukan pertama kali pada tahun 1890-an dan berstatus endemik di Amerika Selatan dan di bagian selatan Filipina. Penyakit Bugtok ditemukan pertama kali di Filipina pada pertengahan tahun 1960, sedangkan penyakit darah (blood diseases) hingga kini hanya ditemukan di Indonesia. Karakteristik patogen penyebab ke-3 penyakit juga berbeda baik pada tingkat morfologi, kisaran inang, maupun pada aras molekulernya. Patogen penyebab penyakit darah di Indonesia belum memiliki nama valid. Awalnya sebagian peneliti menyebutnya sebagai Pseudomonas celebensis, lalu berganti nama menjadi P. solanacearum, selanjutnya digolongkan ke dalam genus Ralstonia dan berubah nama menjadi R. solanacearum. Penelitian lebih lanjut kemudian membuktikan bahwa bakteri penyebab penyakit darah pada pisang di Indonesia berbeda dengan R. solanacearum ras 2 yang menyerang pisang di luar Indonesia. Secara alami, BDB hanya menyerang pisang kepok/sepatu dan penyebaran penyakit terjadi karena bantuan serangga pengunjung bunga jantan pada jantung pisang. 

Gejala Penyakit

         Gejala layu disebabkan karena jaringan pembuluh tersumbat oleh massa bakteri dan lendir polisakarida yang larut (terdegradasi), sehingga terhambatnya transportasi dan translokasi air dan unsur hara. Bakteri ini tidak hanya berkembang pada jaringan xilem juga berkembang dan menyebar pada jaringan parenkim. Korteks tidak teratur dan jaringan empulur menjadi hancur sehingga dapat menyebabkan terbentuknya rongga tengah dasar batang (Semangun, 1994).









Gambar 1 : Gejala Penyakit Darah pada Pisang

          Ciri-ciri yang tampak pada tanaman pisang yang terkena penyakit darah adalah pada saat menjelang timbulnya tandan. Mula-mula daun muda mengalami perubahan warna, dari ibu tulang daun ketepi daun tampak warna coklat kekuning-kuningan. Kondisi ini berlangsung hingga buah menjelang masak. Dalam jangka waktu seminggu setelah gejala pertama, semua daun menguning dan kering lalu menjadi coklat dan tanaman menjadi layu. Perkembangan buah terlambat, dimana pada saat buah hampir masak  buah berwarna kuning coklat dan busuk, daging buah menjadi cairan seperti lendir berwarna merah kecoklatan yang mengandung banyak bakteri. Selanjutnya apabila batang dipotong melintang akan mengeluarkan cairan yang berwarna coklat kemerahan dan berbau kurang sedap seperti pada gambar 1 (Dedeh Hadiyanti, 2003).
          Gejala pada batang menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil. Pada serangan berat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhenti sama sekali dan dalam waktu singkat tanaman mejadi layu, akhirnya mati. Buah yang terserang berwarna kuning kecoklatan, nampak seperti hangus, busuk, kemudian gugur (Gauman, 1921b).



BAB III
PEMBAHASAN

III.1. Ekstraseluler Polisakarida (EPS)

          Ekstraseluler Polisakarida (EPS) merupakan lendir yang dihasilkan oleh mikroba dan dikeluarkan (diekskresikan) ke medium pertumbuhannya atau tetap melekat pada sel mikroba tersebut sebagai kapsul. Umumnya polisakarida dihasilkan oleh tumbuhan tinggi sepeti gum guar, gum karaya, dan rumput laut. Keuntungan EPS adalah mempunyai sifat fisika dan kimia yang relatif konsisten (reproducible), sedangkan polisakarida yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi dan rumput laut mempunyai sifat yang bervariasi tergantung dari struktur fisika dan kimia setiap polimer berbeda-beda tidak hanya tergantung pada sumber, tipe dan umur jaringan tetapi juga tergantung dari metode ekstraksi (Noer Laily, 1999).
          Polisakarida simpanan seperti pati dan inulin pada tumbuhan, glikogen pada hewan merupakan polisakarida intraseluler. Beberapa bakteri, mikroalga, jamur dan ragi, menyimpan polisakarida diluar sel (Ekstraseluler Polisakarida = EPS). EPS bakteri merupakan molekul dengan berat molekul bervariasi antara 10-104 kDa (sekitar 50 – 50.000 unit glikosil). Berdasarkan komposisi dan mekanisme biosintesis, EPS dibagi menjadi dua kelas, yaitu: homopolisakarida dan heteropolisakarida (van Hijum et al., 2002).
          Homopolisakarida, hanya disusun oleh satu jenis monomer, yaitu glukosa (polimer: glukan), fruktosa (polimer: fruktan) dengan tipe ikatan dan percabangan yang berbeda. Polisakarida ini disintesis diluar sel oleh enzim sukrase dengan adanya molekul donor sukrosa pada medium, dan molekul penerima polimer: sukrosa, rafinosa atau air (De Vuyst et al., 2001).
          Polisakarida terdiri dari rantai monosakarida, yang dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar secara fungsional, yaitu struktural polisakarida dan nutrien polisakarida. Sebagai komponan struktural, polisakarida berperan sebagai pembangunan komponan organel sel dan sebagai unsur pendukung intrasel. Polisakarida yang termasuk golongan ini adalah selulosa (ditemukan dalam dinding sel tanaman), chitin, chondroitin, dan asam hialuronat. Polisakarida nutrien berperan sebagai sumber cadangan monosakarida. Polisakarida yang termasuk kelompok ini adalah pati, selulosa dan glikogen. Masing-masing polisakarida berbeda dalam hal unit monomer yang dikandungnya, maupun jenis ikatan yang menghubungkan unit-unit monomer tersebut, untuk memperoleh EPS dari supernatan polisakarida ada dua methode umum, ada yang secara tradisional (EPS dengan bahan pelarut organse atau garam-garam) dan secara ultrafiltrasi.
          Ekstraseluler Polisakarida (EPS), berfungsi untuk meningkatan viskositas sekeliling sel, mengurangi penekanan terhadap efektivitas nitrogenase, melindungi sel bakteri dari pengaruh cekaman (pH, kekeringan, fluktuasi potensial air), mengkelat A1 3+ dan Fe3+ pada pH lingkungan tertentu, memacu pembentukan gel dengan adanya Ca2+ yang berperan di dalam pelekatan pada rambut akar. Eksopolisakarida tipe wild memiliki 2 bentukan yaitu loose smile yang tidak melekat pada sel dan mikrokapsul maupun kapsul yang melekat pada dinding sel.
          EPS dari bakteri sangat berperan dalam antagenesis, utamanya dalam menghambat translokasi unsur hara dan air, juga pelindung bakteri dari keadaan yang ekstrim, dapat menetralisir senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh tanaman (Wydra, 1991).

III.2. Mekanisme Resistensi Terinduksi

          Tanaman memperlihatkan reaksi induksi resistensi pada umumnya, sama dengan reaksi hipersensitif yang mana pada tanaman yang rentan terjadi hubungan yang kompatibel antara inang dan patogen, sehingga patogen dapat meluas dalam jaringan tanpa hambatan. Sebaliknya pada tanaman yang resisten, sel-sel sekitar patogen kehilangan turgornya, berwarna coklat, berbulir dan sel mati dengan cepat, seterusnya terjadi akumulasi oksidasi senyawa fenol dan pembentukan fitoaleksin. Dengan kata lain mekanisme induksi resistensi berhubungan dengan ketahanan suatu tanaman, semakin tahan suatu tanaman maka semakin cepat matinya sel sehingga semakin cepat patogen inaktif (Semangun, 1996).
          Untuk meningkatkan sifat ketahanan terhadap penyakit maka sel maupun koloni sel dikulturkan pada media yang mengandung toksin atau metabolik sekunder dari patogen. Pemberian filtrat dengan konsentrasi yang berbeda-beda menyebabkan tingkat ketahanan pada setiap jenis tanaman juga berbeda-beda. Menurut Kosmiatin et al (2000) bahwa toksin atau ekstrak dari patogen (kultur filtrat) dari patogen merupakan seleksi berdasarkan kenyataan bahwa ada hubungan antara toleransi terhadap toksin atau kultur filtrat dengan ketahanan terhadap penyakit.
         Kultur fitrat merupakan semua isi sel baik sebagai enzim, toksin, antibiotik, Ekstraseluler Polisakarida (EPS), Lipopolisakarida (LPS), maupun protein yang dapat dijadikan sebagai bahan penginduksi reisisten terhadap penyakit. Sejalan dengan pendapat Graham et al. (dalam Mcintre, 1982) menyatakan bahwa unsur pokok dalam bakteri sebagai faktor penginduksi ketahanan adalah senyawa yang mengandung protein, EPS, LPS dan adanya DNA bakteri.

III.3. Pengaruh Ekstraseluler Polisakarida (EPS) Terhadap Kultur In-Vitro
       Tanaman Pisang

          Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh oleh St Nur Ihsan (2008), bahwa pemberian Ekatraseluler Polisakarida (EPS) dari bakteri Blood Disease Bacterium baik terhadap Pisang Varietas Barangan Kuning maupun terhadap Pisang Varietas Kepok Kuning memperlihatkan bahwa masa munculnya anakan dan daun berbeda-beda disebabkan karena konsentrasi EPS yang diberikan juga berbeda-beda. Pengaruhnya akan menghambat pertumbuhan anakan dan daun yang muncul baik dalam masa munculnya maupun dalam jumlah anakan dan daun yang akan muncul.

Tabel 1 : Masa Munculnya Anakan dan Daun dari Pengamatan 5 Minggu
Perlakuan
Masa Munculnya Anakan
Hari ke...
Masa Munculnya Daun
Hari ke...
V1 K0 (tanpa EPS)
3
3
      K1 (EPS 10%)
7
3
      K2 (EPS 11,5%)
7
7
      K3 (EPS 13%)
7
7
      K4 (EPS 14,5%)
7
7
V2 K0 (tanpa EPS)
3
3
      K1 (EPS 10%)
11
11
      K2 (EPS 11,5%)
15
23
      K3 (EPS 13%)
11
19
      K4 (EPS 14,5%)
23
27
Ket :
V1 = Pisang Varietas Barangan Kuning
V2 = Pisang Varietas Kepok Kuning

Tabel 2 : Jumlah Munculnya Anakan dan Daun dari Pengamatan 5 Minggu
Perlakuan
Jumlah Munculnya Anakan
Jumlah  Munculnya Daun

V1 K0 (tanpa EPS)
 12
9
      K1 (EPS 10%)
4
2
      K2 (EPS 11,5%)
0
13
      K3 (EPS 13%)
0
7
      K4 (EPS 14,5%)
4
4
V2 K0 (tanpa EPS)
9
9
      K1 (EPS 10%)
2
4
      K2 (EPS 11,5%)
3
0
      K3 (EPS 13%)
0
3
      K4 (EPS 14,5%)
0
0
Ket :
V1 = Pisang Varietas Barangan Kuning
V2 = Pisang Varietas Kepok Kuning

          Pada studi literatur yang di lakukan terdapat beberapa konsentrasi pengujian Ekstraseluler Polisakarida (EPS) yaitu : 10%; 11,5%; 13%  dan 14,5%, hasil menunjukkan bahwa pada konsentrasi EPS 10 hingga 14,5% Pisang Varietas Barangan Kuning mampu menghasilkan anakan dalam waktu 7 hari. Sedangkan masa munculnya anakan untuk Pisang Varietas Kepok Kuning diperlihatkan pada konsentrasi EPS 10 hingga 13% yaitu dalam waktu 11 hari, kemudian pada konsentrasi 11,5% dalam waktu 15 hari dan konsentrasi 14,5% dalam waktu 23 hari. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun dengan pemberian konsentrasi EPS tanaman masih mampu membentuk mekanisme pertahanan pada dirinya dengan memperlihatkan kemampuan tumbuhnya. Ketahanan yang di miliki planlet tersebut tidak menutup kemungkinan justru lebih bertahan hingga dilapangan. Sesuai dengan pendapat van den Bulk dalam Kosmiatin et al (2000), juga oleh Watinema (1992) yang menyatakan bahwa massa sel pada media yang mengandung metabolik dari patogen, peluang untuk mendapatkan varietas baru yang tahan terhadap penyakit semakin besar.   
          Kemudian pengaruh pertumbuhan daun terhadap pemberian EPS pada Pisang Varietas Barangan Kuning memperlihatkan bahwa pada konsentrasi 10% menunjukkan pembentukan daun yang sangat pesat hanya dalam waktu 3 hari saja, dan pada konsentrasi 11,5 hingga 14,5% pembentukan daun terjadi dalam waktu 7 hari. Sedangkan pada Pisang Varietas Kepok Kuning untuk konsentrasi EPS 10% daun muncul dalam waktu 11 hari, kemudian konsentrasi 13% yaitu dalam waktu 19 hari, konsentrasi 11,5% yaitu dalam waktu 23 hari, konsentrasi 14,5% yaitu dalam waktu 27 hari. Adanya kemampuan untuk tumbuh dari planlet tersebut disebabkan karena mekanisme pertahanan yang dimiliki berbeda-beda. Jika tanaman sanggup untuk mencegah aktifitas EPS maka akan mampu terus tumbuh tanpa hambatan. Penghambatan pertumbuhan tersebut terjadi karena adanya pemasukan dari induksi EPS patogen, tetapi banyak bukti bahwa tumbuhan dapat bereaksi aktif terhadap pengaruh patogen, mirip imunitas yang terdapat pada hewan dan manusia (Balesdent, 1992).
    Perlakuan dengan beberapa konsentrasi Ekstraseluler Polisakarida (EPS) menyebabkan pertumbuhan anakan dan daun mulai terhambat. Terhambatnya pertumbuhan anakan dan daun tersebut diakibatkan oleh adanya pengaruh senyawa dari EPS yang merupakan metabolit sekunder yang mempengaruhi aktifitas pertumbuhan normal inang berupa penghambatan dalam translokasi zat-zat hara, proses metabolisme sel inang, permeabilitas sel sehingga pertumbuhan anakan dan daun juga menjadi terhambat. Agrios (1996), menyatakan bahwa beberapa jenis patogen selain menggunakan kekuatan mekanik untuk mempenetrasi jaringan tumbuhan, sebagian besar juga aktivitas patogen di dalam jaringan di dalam jaringan tumbuhan bersifat absorbsi kimia seperti halnya aktifitas yang dilakukan oleh EPS yang diperoleh dari kultur bakteri Blood Disease Bacterium, absorbsi kimia yang dilakukan dengan memanfaatkan ikatan polisakarida yang bersifat netral atau mengandung homopolisakarida atau heteropolisakarida yang dimodifikasi untuk membawa residu non-gula seperti golongan acid atau senyawa toksin. Senyawa toksin inilah yang berperan dalam melakukan penetrasi di dalam jaringan tanaman sehingga mempengaruhi aktifitas pertumbuhan inang (Mansfield and Brown, 1986).
         Beberapa senyawa merupakan hasil metabolik sekunder juga dapat berfungsi dan terlibat dalam membentuk sel-sel yang tahan terhadap penyakit. Pada kultur In-Vitro produk senyawa metabolik sekunder juga seringkali berasosiasi dengan deferensiasi sel atau jaringan yang dikulturkan (Santoso dan Nursandi, 2001).
          Di Harapkan tanaman pisang yang telah di induksi oleh EPS dapat tahan terhadap serangan penyakit BDB di lapangan sehingga walaupun di tanam pada tanah yang sebelumnya telah terinfeksi BDB tanaman pisang tersebut masih dapat terus tumbuh hingga menghasilkan tanaman dan buah yang sehat.



BAB IV
KESIMPULAN


  1. Perlakuan dengan pemberian konsentrasi 10%; 11,5%; 13% dan 14,5% Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari “Blood Disease Bacterium” dibandingkan dengan perlakuan kontrol memperlihatkan pengaruh penekanan terhadap masa munculnya anakan dan daun serta jumlah anakan dan daun baik pada Pisang Varietas Barangan Kuning maupun pada Pisang Varietas Kepok.
  2. Pemberian konsentrasi tertinggi 14,5% Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari “Blood Disease Bacterium” pada Pisang Varietas Kepok Kuning memberikan pengaruh penekanan lebih tinggi dibandingkan dengan Pisang Varietas Barangan Kuning Terhadap masa munculnya anakan dan daun serta jumlah anakan daun.


DAFTAR PUSTAKA


Argrios, G. N., 1996. Plant Pathology. Penerjemah: Munzir Busnia dalam Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 713 Halaman

Baharuddin, 1994. Pathological, biochemical and serological characterization of the blood diasease bacterium affecting banana and plaitain (Musa spp.) in Indonesia. Disertation at Georg-August Universitaet Gootingen, Germany.

Balesdent J and Balabane M., 1992. Input of fertilizer-derived labelled N to soil
organic matter during a growing season of maize in the field. Soil Biol. Biochem.

Dedeh Hadiyanti, 2003. Cara Pengendalian Penyakit Darah Pada Tanaman Pisang di Sumatera Selatan. Departemen Pertanian. BPTP. Sumatera Selatan.

De Vuyst L and L. M. Mashall., 2001. Special Issue: first symposium on exopolysaccharides from lactid acid bacteria, from fundamentals to apllication int. Dairy. 11

Gaumann, 1921. Onderzoekeningen over de bloedziekte der bananaen op Celebes. I & II. Madedelingen van het Instituut voor Plantenziekten.



Ihsan Nur St, 2008. Uji Beberapa Konsentrasi Ekstraseluler Polisakarida (EPS) dari Blood Disease Bacterium pada Planlet Pisang (Musa paradisiaca L.) Secara In-Vitro. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Kosmiatin, M. I., Marisko, A., Husni, Y., Rusyadi, Hobir, dan M Tombe., 2000. Seleksi Silang Ketahanan Tunas In-Vitro Vanili Terhadap Asam Fusarat dan Ekstrak Fusarium oxysforum. Jurnal Bioteknologi Pertanian 5 (2) : 77-83.

Mansfield, J. W & Brown, I. R., 1988. An ultrastructural study, including cytochemistry and quantitative analyses, of the interactions berween pseudomonas and leaves of Phaseolus vulgaris L. Physiol. Mol. Plant Pathol

Noer Laily, 1999. Sifat Reologi & Komposisi Gula Polisakarida Ekstraseluler yang di Produksi oleh Enterobacter agglomerans N. IPB. Bogor.

Suyanti, Satuhu & Achmad Supriyadi, 2000. Pisang: Budidaya, Pengolahan & Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sunarjono H., 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 1-15

Simmonds, N.W., 1962. The evolution of bananas. Longmans, London.

Suhardiman, 1997. Budidaya Pisang Cavendish. Yogyakarta. Kanisius

Semangun, 1994. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal 554-598.

Semangun, 1996. Pengatar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Santoso, U dan F. Nursandi, 2001. Kultur Jaringan Tanaman. UMM. Malang

Triharsono, 1974. Karantina Tumbuhan. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 66p.

Valmayor. R. W., Umali, B. E., Bejasono, C. P., 1990. Regional Consultation on Banana and Plantain R & D Networking. 189p, in V. Ramon (Ed). Banana and Plantain R & D In Asia and The Pacific. 20-24 Nov 1989. Manila and Davao. International Network For The Improvement of Banana and Plantain, Montpellier, France.

Van den Bulk, R.W., 1991. Application of cell and tissue culture and in vitro selection for disease resistance breeding - a review. Euphytica

Van Hijum, S. A. F. T., G. H Van Goel-Schuten, H. Rahaoui, M. J. E. C. Vander Maarel, and L. Dijkhuizen., 2001. Characterization of a Novel Fructosiltransferase form Lactobacillus reuteri that Synthesizes High-Moleculer. Weight Inulin and Inulin Oligosaccharida. Appl and Env. Mikrobial, vol. 68, no 9. 4390-4398.

Watinema, G. A., Livy Winata. G., Nurhayati A. M., Endang S. N., Made A. W., Andrie, 1992. Bioteknologi Tanaman (Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman). Departement Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tingkat Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.

Wydra, K. 1992. Analysis of toxic extracellular polysaccharides. MSc thesis. Institute of Plant Pathology and Plant Protection, Faculty of Agricultural Sciences, University of Göttingen